79 Tahun Indonesia Merdeka: Upah Belum Merdeka
Seiring dengan perjalanan Indonesia yang telah merdeka selama 79 tahun, upah pekerja di negeri ini masih belum mencerminkan kemerdekaan yang sejati bagi rakyat pekerja. Meskipun konstitusi Indonesia melalui UUD 1945 telah mengamanatkan hak-hak dasar bagi setiap warga negara, termasuk hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, kenyataannya masih banyak pekerja yang belum menikmati kesejahteraan yang adil dan layak.
Dalam presentasi yang disampaikan oleh Sofyan Abdul Latief, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi, saat Workshop Pengupahan KSPI yang diselenggarakan pada hari Selasa, 20 Agustus 2024, diungkapkan bahwa sistem pengupahan di Indonesia masih jauh dari ideal. Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 28D ayat 2 UUD 1945 jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak dalam hubungan kerja. Namun, implementasi dari amanat konstitusi ini sering kali tidak sesuai dengan harapan.
Menurut Sofyan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023 menjadi dasar hukum dalam menentukan upah minimum pekerja. Namun, kebijakan pengupahan yang diatur oleh pemerintah pusat melalui UU Cipta Kerja dan PP Nomor 51 Tahun 2023 mendapat kritikan tajam karena dianggap tidak sejalan dengan prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998.
Kebijakan pengupahan yang hanya mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu sering kali tidak mencerminkan kebutuhan hidup layak (KHL) para pekerja. Bahkan, dalam praktiknya, penetapan upah minimum di beberapa daerah sering kali tidak relevan dengan daya beli di daerah tersebut, mengakibatkan ketidakadilan bagi pekerja yang tinggal di wilayah dengan biaya hidup yang lebih tinggi.
Salah satu masalah mendasar yang dihadapi pekerja di Indonesia adalah kesenjangan upah antara golongan pekerja dengan tingkat pendidikan dan masa kerja yang berbeda. Dalam model penggolongan upah yang dipresentasikan, terlihat bahwa selisih upah pokok antar golongan rata-rata hanya sekitar 5%, yang dinilai masih belum mencerminkan keadilan dan penghargaan atas prestasi kerja.
Selain itu, tunjangan keluarga dan tunjangan keahlian juga masih menjadi isu yang perlu diperhatikan. Banyak pekerja yang belum mendapatkan tunjangan yang sesuai dengan kompetensi dan tanggung jawab mereka. Kondisi ini semakin diperburuk oleh biaya hidup yang terus meningkat, sementara upah yang diterima pekerja masih jauh dari mencukupi kebutuhan dasar mereka.
Untuk mewujudkan penghidupan yang layak bagi seluruh pekerja di Indonesia, diperlukan reformasi dalam sistem pengupahan yang lebih adil dan berpihak pada kesejahteraan pekerja. Upah layak harus setara dengan kemampuan daya beli pekerja, agar mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup layak selama satu bulan tanpa harus mengorbankan kesehatan fisik dan mental mereka.
Kebijakan pengupahan yang lebih adil juga harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti permintaan dan penawaran tenaga kerja, kemampuan membayar perusahaan, produktivitas tenaga kerja, serta biaya hidup di masing-masing daerah. Pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja perlu duduk bersama untuk merumuskan kebijakan pengupahan yang benar-benar mengedepankan kesejahteraan pekerja sebagai prioritas utama.
“Indonesia merdeka selama 79 tahun, namun upah pekerja masih belum sepenuhnya mencerminkan kemerdekaan yang sejati. Sudah saatnya seluruh pemangku kepentingan bersinergi untuk memperjuangkan sistem pengupahan yang adil dan layak, demi mewujudkan kesejahteraan yang hakiki bagi seluruh pekerja di Indonesia. Karena pada akhirnya, kesejahteraan pekerja adalah fondasi bagi kemajuan bangsa dan negara,” tegasnya.