Decent Work Day : Pentingnya Kerja Layak untuk Masa Depan Pekerja Indonesia
Setiap tanggal 7 Oktober, dunia memperingati Hari Kerja Layak (Decent Work Day), yang bagi sebagian besar orang mungkin hanya terdengar seperti salah satu peringatan tahunan yang rutin muncul di kalender. Namun, apakah kita pernah benar-benar memahami makna dari “kerja layak”? Apa relevansinya bagi pekerja Indonesia saat ini?
Bagi saya, kerja layak bukan hanya soal mendapatkan pekerjaan dan upah, tetapi lebih dari itu—ini adalah tentang bagaimana kita, sebagai sebuah bangsa, memperlakukan mereka yang menjadi tulang punggung perekonomian kita. Ini soal keadilan, martabat, dan kesempatan yang setara. Kerja layak artinya semua orang, tanpa kecuali, memiliki akses terhadap pekerjaan yang produktif, upah yang wajar, perlindungan sosial, dan lingkungan kerja yang aman.
Bicara soal kerja layak di Indonesia rasanya seperti mengulang harapan yang sudah terlalu sering kita dengar: “semua pekerja harus diperlakukan dengan adil.” Namun, kenyataannya, kondisi kerja yang layak masih jauh dari jangkauan mayoritas pekerja kita. Upah minimum yang ada di beberapa daerah bahkan sering kali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Belum lagi bicara soal sektor informal, di mana pekerja terpaksa menerima kondisi kerja yang serba tidak pasti dan tanpa jaminan sosial.
Mari kita jujur. Apakah kita bisa mengatakan bahwa kerja layak sudah menjadi kenyataan di Indonesia? Pekerja sektor informal seperti buruh tani, pengemudi ojek online, atau pedagang kaki lima, seringkali diabaikan dalam diskusi tentang upah layak dan perlindungan sosial. Padahal, mereka adalah bagian penting dari roda perekonomian nasional.
Diskriminasi Masih Nyata
Selain itu, masalah diskriminasi juga masih begitu nyata. Perempuan, penyandang disabilitas, hingga pekerja migran kerap kali dipinggirkan dalam dunia kerja. Misalnya, banyak perempuan yang masih harus berjuang menghadapi diskriminasi upah, di mana pekerjaan mereka dinilai lebih rendah dibandingkan laki-laki, meskipun beban kerja dan tanggung jawabnya sama.
Bicara soal pekerja migran, mereka sering kali dianggap sebagai “pekerja kelas dua” di negara-negara tempat mereka bekerja, bahkan tidak jarang mereka mendapat perlakuan tidak manusiawi. Bukankah ini bertentangan dengan prinsip dasar kerja layak yang menghargai martabat setiap individu?
Mewujudkan Kerja Layak: Tanggung Jawab Siapa?
Pertanyaan besar yang selalu muncul setiap kali membahas isu ini adalah: siapa yang bertanggung jawab mewujudkan kerja layak? Mudah untuk menunjuk jari ke pemerintah dan menuntut mereka memperbaiki sistem. Namun, kenyataannya, mewujudkan kerja layak adalah tugas bersama. Pemerintah, pengusaha, serikat pekerja, dan bahkan kita sebagai masyarakat memiliki peran masing-masing.
Pemerintah harus memperkuat pengawasan terhadap pelanggaran hak-hak pekerja dan memastikan bahwa standar upah minimum benar-benar diterapkan dengan adil. Pengusaha harus memahami bahwa menciptakan lingkungan kerja yang aman dan menghargai pekerja bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga investasi jangka panjang untuk keberlanjutan bisnis. Sementara itu, serikat pekerja harus terus memperjuangkan hak-hak pekerja dengan cara yang konstruktif, bukan sekadar retorika kosong.
Dan kita, sebagai masyarakat, perlu lebih peduli. Ketika kita mendengar berita tentang buruh yang menuntut upah layak atau meminta perlindungan sosial yang lebih baik, kita tidak boleh hanya melihat dari sisi “gangguan” yang mereka timbulkan, seperti kemacetan akibat aksi demo. Kita perlu bertanya: kenapa mereka berjuang? Apa yang salah dalam sistem kita?
Masa Depan Kerja Layak di Indonesia
Indonesia sedang dalam perjalanan panjang menuju perwujudan kerja layak. Namun, saya percaya, jika semua pihak bersedia bekerja sama, kita bisa mewujudkannya. Perjuangan ini bukan hanya tentang peningkatan upah atau perlindungan hak-hak pekerja, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab.
Kerja layak adalah pondasi dari kesejahteraan sosial dan ekonomi. Tanpa itu, kita hanya akan memperluas kesenjangan sosial, membiarkan pekerja terjebak dalam siklus kemiskinan. Oleh karena itu, mari kita jadikan peringatan Hari Kerja Layak bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi momentum untuk terus mendorong perubahan nyata bagi pekerja Indonesia.
Pada akhirnya, kerja layak adalah hak, bukan privilese. Setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan yang tidak hanya memberinya penghasilan, tetapi juga memberikan rasa aman, perlindungan, dan martabat. Inilah masa depan yang harus kita perjuangkan—masa depan di mana kerja layak menjadi kenyataan bagi semua orang, bukan hanya sebagian kecil dari kita.
Suhari Ete – Batam