Hapuskan Outsourcing
Praktik outsourcing dalam dunia ketenagakerjaan adalah wajah modern dari eksploitasi yang sudah seharusnya dikubur dalam-dalam. Di tengah gempuran kapitalisme yang rakus, outsourcing dijadikan dalih efisiensi dan fleksibilitas oleh para pengusaha, namun yang terjadi sesungguhnya adalah pemiskinan sistematis terhadap kelas pekerja. Mereka yang seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan justru dijadikan barang sekali pakai—dipakai, dieksploitasi, lalu dibuang ketika tidak lagi menguntungkan.
Pekerja outsourcing hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian yang terus menghantui. Mereka dikontrak dengan durasi pendek, seringkali hanya tiga atau enam bulan, tanpa ada jaminan diperpanjang. Mereka bekerja di tempat yang sama, melakukan pekerjaan yang sama, bahkan terkadang memikul beban kerja yang lebih berat dari pekerja tetap. Tapi status mereka berbeda. Mereka tidak mendapatkan jaminan kesehatan yang layak, tidak mendapat tunjangan hari raya yang sepadan, bahkan untuk sekadar cuti pun harus berhadapan dengan birokrasi vendor yang rumit dan melelahkan. Padahal sejatinya, mereka adalah bagian dari mesin produksi yang sama, yang membuat perusahaan berjalan dan untung.
Dalam praktiknya, outsourcing telah menghancurkan nilai-nilai dasar keadilan dalam hubungan industrial. Ia menciptakan jurang yang dalam antara pekerja tetap dan pekerja alih daya, memecah belah solidaritas buruh, dan membuat posisi tawar pekerja semakin lemah. Ketika seseorang tahu bahwa ia bisa diganti kapan saja hanya karena berani bersuara, maka di situlah kekuasaan pengusaha mencapai puncaknya. Rasa takut menjadi alat kontrol. Buruh didorong untuk tunduk, diam, dan terus bekerja, tak peduli seberapa buruk perlakuan yang mereka terima.
Mirisnya, negara selama ini seakan memberi karpet merah terhadap praktik ini. Aturan yang seharusnya melindungi buruh justru longgar dan penuh celah. Pemerintah lebih sibuk menjaga kenyamanan investor ketimbang memastikan rakyatnya mendapat pekerjaan yang manusiawi. Dalam banyak kasus, ketika buruh menuntut haknya, yang datang bukanlah keadilan, melainkan intimidasi. Negara malah kerap menjadi penonton yang pasif atau bahkan turut andil dalam membungkam perlawanan.
Namun sebuah pernyataan mengejutkan datang dari pucuk pimpinan negeri ini. Di hadapan ribuan buruh pada aksi May Day 2025 di Jakarta, Presiden Prabowo Subianto berjanji akan menghapus sistem alih daya atau outsourcing. Sebuah pernyataan yang membakar semangat, menggugah harapan, dan menjadi janji politik yang layak ditagih. Penghapusan outsourcing disebut sebagai salah satu janji prioritas Prabowo, menyusul masukan dari pimpinan sejumlah konfederasi buruh. Ia bahkan mengklaim akan membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional, dan meminta lembaga ini untuk mengkaji serius tuntutan penghapusan outsourcing.
Tentu saja janji ini disambut dengan harapan besar, namun tak sedikit pula yang menyambutnya dengan rasa ragu. Sejumlah ekonom dan serikat buruh menyebut wacana itu harus dibarengi dengan konsistensi kebijakan. Karena janji tanpa arah yang jelas hanya akan menjadi retorika belaka. Mereka yang ragu bukan tanpa alasan. Sejarah panjang perjuangan buruh di Indonesia sudah terlalu sering diwarnai janji-janji kosong. Setiap kali pemilu datang, suara buruh diburu. Tapi begitu kekuasaan digenggam, suara itu dilupakan, tuntutan dilupakan, dan sistem ketenagakerjaan yang menindas kembali dibiarkan berjalan.
Yang lebih mengerikan, sistem outsourcing telah menciptakan generasi pekerja yang hidup tanpa masa depan. Anak-anak muda yang baru lulus sekolah atau kuliah langsung dihadapkan dengan kenyataan pahit: bahwa bekerja keras saja tidak cukup untuk hidup layak. Bahwa loyalitas terhadap pekerjaan tidak menjamin keamanan. Bahwa masa depan adalah konsep yang absurd ketika kontrak kerja bahkan tidak menjangkau setahun. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya menciptakan masalah ekonomi, tetapi juga masalah sosial. Masyarakat yang dipenuhi orang-orang dengan masa depan suram adalah masyarakat yang mudah meledak, penuh kecemasan, dan kehilangan arah.
Apakah ini yang kita sebut kemajuan? Apakah ini yang dibanggakan sebagai iklim investasi yang ramah? Jika kemajuan dibangun di atas penderitaan mereka yang bekerja tanpa hak, maka itu bukan kemajuan—itu penjajahan gaya baru. Perusahaan yang mengandalkan keuntungan dari praktik outsourcing sejatinya sedang mencuri—bukan hanya tenaga, tetapi juga kehidupan dan harapan para buruh.
Dalih efisiensi yang sering digunakan untuk membenarkan outsourcing hanyalah kamuflase. Apa artinya efisiensi jika yang dikorbankan adalah martabat manusia? Apa gunanya profit berlimpah jika dibangun di atas keringat yang tidak dibayar dengan layak? Jika perusahaan tidak mampu menggaji pekerja dengan pantas, maka perusahaan itu tidak pantas beroperasi. Titik.
Lebih dari itu, outsourcing adalah bentuk penghinaan terhadap amanat konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 jelas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dalam outsourcing, hak itu dilucuti. Pekerjaan dijadikan komoditas, pekerja dijadikan barang dagangan, dan hidup mereka dipermainkan oleh para pemilik modal dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang tak lebih dari calo berseragam.
Maka, tuntutan untuk menghapus outsourcing bukan sekadar wacana atau isu buruh semata. Ini adalah perjuangan kemanusiaan. Ini adalah pertarungan antara mereka yang ingin menjaga nilai-nilai keadilan dan mereka yang ingin menghisap sebanyak mungkin keuntungan tanpa peduli siapa yang dikorbankan. Setiap hari kita membiarkan sistem ini berjalan, setiap hari pula kita membiarkan ketidakadilan menjadi norma.
Sudah waktunya outsourcing dihapuskan, bukan diperbaiki, bukan diawasi, tapi dihapuskan sepenuhnya. Kita tidak butuh sistem tambal sulam yang hanya mempercantik wajah buruk kapitalisme. Kita butuh keberanian politik, keberpihakan yang jelas, dan suara kolektif yang terus bergema. Karena selama outsourcing masih ada, selama itu pula pekerja akan terus menjadi korban. Dan selama itu pula, bangsa ini akan gagal menjunjung martabat kemanusiaannya.