Jika Berdampak Iuran BPJS Naik, KSPI Sebut KRIS Akan Rugikan Kelas Bawah
Jakarta,KSPI – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyoroti kebijakan penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) bagi peserta BPJS Kesehatan, paling lambat 30 Juni 2025.
Menurut dia, aturan yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 itu masih menyimpan tanda tanya besar. Khususnya terkait besaran iuran yang kini terbagi dalam skema kelas 1, 2 dan 3.
Said Iqbal lantas berasumsi jika penerapan KRIS bakal menyamakan iuran seluruh peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dengan bayangan harga tengah antara peserta kelas 1, 2 dan 3. Jika itu terjadi, ia beranggapan iuran peserta kelas terbawah akan naik.
“Dia ambil harga tengah, misal Rp 75.000. Berarti yang orang mampu turun iuran, orang tidak mampu bertambah. Pertanyaannya, mampu enggak pemerintah mensubsidi? Pasti enggak mau. Jadi yang dirugikan kelas bawah, iurannya naik,” ungkapnya
Di sisi lain, ia juga menanggapi implementasi KRIS tidak menghapus jenjang kelas pelayanan rawat inap bagi peserta. Said Iqbal mengaku sanksi jasa pelayanan yang diberikan akan membaik, meskipun besaran iuran peserta kelas bawah dinaikan.
“Apakah pelayanan meningkat dengan iuran yang kemungkinan besar naik bagi orang bawah? Enggak mungkin pelayanannya naik,” tegas dia.
Tak hanya bagi peserta, Said Iqbal juga menilai rencana penerapan KRIS di BPJS Kesehatan bakal merepotkan pihak pengelola rumah sakit, khususnya swasta.
Kementerian Kesehatan dalam hal ini menyatakan tidak akan menghapus jenjang kelas rawat inap 1-3, namun menitikberatkan pada perbaikan tempat tidur. Dengan sistem KRIS, satu kamar nantinya akan punya maksimal 4 tempat tidur.
“Apa akibatnya, kan harus ada investasi dengan merombak kamar. Kita bicara kelas dulu. Misal kamar kelas 3 di rumah sakit swasta, Muhammadiyah dan lainnya ada 6 orang, misal dibikin jadi 4 orang,” ujar Said Iqbal.
“Berarti ada investasi merombak kamar. Begitu pula rumah sakit negeri, dia merombak kamar. Kalaupun tidak merombak kamar, investasinya adalah akan mengurangi jumlah kamar, yang tadinya diisi 6 orang jadi 4 orang. Akibatnya ketersediaan kamar berkurang,” tuturnya.
Lewat skenario ini, ia mengatakan pihak pengelola rumah sakit juga harus bikin kamar baru jika ketersediaan kamar dan ruangannya pasca direnovasi masih belum mencukupi.
“Pertanyaannya, kalau (rumah sakit) negeri kan masih bisa lah menggunakan APBN tahun depan. Kalau rumah sakit swasta dari mana investasinya? Jadi kesimpulannya program KRIS itu tidak bisa berjalan di Juni 2025,” pungkasnya