Menjadikan Pekerja sebagai Titik Sentral dalam Transisi Energi
Dalam beberapa tahun terakhir, perbincangan mengenai transisi energi semakin intens, baik di tingkat nasional maupun global. Namun, yang menjadi persoalan utama adalah bagaimana pekerja hanya diposisikan sekedar sebagai pelengkap, tanpa diberikan peran sentral dalam menentukan arah perubahan ini. Saatnya serikat pekerja mengambil alih posisi yang lebih strategis agar transisi energi tidak hanya menjadi agenda investasi dan pembangunan infrastruktur, tetapi juga memastikan hak-hak pekerja yang terdampak oleh transisi energi bisa terlindungi.
Demikian disampaikan Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S. Cahyono dalam Workshop Mendorong Hak-Hak Pekerja dalam Transisi Energi yang Adil, diselenggarakan Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Rabu (12/3).
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Klaster Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja bermasalah dan meminta Pemerintah serta DPR membuat UU Ketenagakerjaan yang baru, memberikan peluang besar bagi serikat pekerja untuk memasukkan klausul terkait transisi energi kedalam regulasi yang baru. Dalam berbagai kebijakan terkait transisi energi, pekerja sering kali hanya disebut dalam konteks mitigasi dampak sosial, tanpa ada mekanisme konkret yang menjamin hak mereka dalam proses perubahan tersebut. Ini harus berubah.
Penguatan regulasi menjadi aspek mendasar dalam menjamin bahwa transisi energi tidak merugikan pekerja. Selama ini, peraturan ketenagakerjaan belum cukup kuat dalam memberikan perlindungan bagi pekerja yang terdampak oleh pergeseran industri menuju energi terbarukan. Regulasi yang ada masih lebih berfokus pada aspek teknis dan investasi, sementara hak-hak pekerja cenderung terpinggirkan. Oleh karena itu, diperlukan revisi kebijakan yang secara eksplisit mengatur tentang perlindungan pekerja dalam skenario perubahan energi, baik dalam bentuk jaminan sosial, skema pelatihan ulang, maupun kompensasi bagi mereka yang kehilangan pekerjaan akibat transisi ini.
Partisipasi yang bermakna dari pekerja dan serikatnya juga menjadi kunci dalam memastikan bahwa regulasi yang dibuat benar-benar mencerminkan kebutuhan pekerja. Selama ini, keterlibatan pekerja dalam perumusan kebijakan transisi energi masih sangat terbatas. Diskusi dan konsultasi sering kali hanya melibatkan pemerintah dan investor, sementara serikat pekerja hanya menjadi pelengkap atau bahkan tidak diikutsertakan dalam perundingan yang menentukan nasib mereka. Hal ini harus diubah dengan memastikan bahwa suara pekerja diakui dalam setiap tahapan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun di perusahaan.
Momentum revisi regulasi ketenagakerjaan harus dimanfaatkan untuk memasukkan aspek perlindungan pekerja dalam transisi energi. Serikat pekerja harus mendesak agar kebijakan ini tidak hanya sekadar mencantumkan pekerja sebagai objek perubahan, tetapi sebagai subjek yang memiliki hak dalam menentukan jalannya transisi. Di tingkat perusahaan, serikat pekerja perlu memastikan bahwa perjanjian kerja bersama (PKB) mencakup klausul yang melindungi pekerja dari dampak transisi energi, termasuk hak atas pelatihan ulang dan jaminan kepastian kerja bagi mereka yang terdampak.
Selain itu, perlu ada penguatan dalam mekanisme sosial dialog di tingkat tripartit, baik di tingkat nasional maupun daerah. Pemerintah harus menjamin bahwa serikat pekerja memiliki akses yang sama dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan energi, sehingga regulasi yang dibuat tidak hanya berorientasi pada kepentingan investasi semata, tetapi juga pada kepentingan sosial dan tenaga kerja. Transisi energi harus diikuti dengan kejelasan aturan yang melindungi hak pekerja, mulai dari peraturan ketenagakerjaan hingga mekanisme implementasi yang memastikan pekerja tidak menjadi korban dalam perubahan ini.
Serikat pekerja juga perlu mengembangkan strategi advokasi yang lebih kuat, baik melalui lobi kebijakan maupun aksi kolektif, untuk menekan pemerintah dan perusahaan agar menjadikan transisi energi sebagai agenda yang berkeadilan bagi seluruh tenaga kerja. Tanpa penguatan regulasi dan partisipasi yang bermakna dari pekerja, transisi energi hanya akan menjadi alat eksploitasi baru yang menggantikan bentuk eksploitasi lama. Oleh karena itu, memastikan bahwa pekerja berada di pusat transisi energi bukan sekadar tuntutan, tetapi sebuah keharusan yang harus diperjuangkan bersama.