Menyelam ke Dalam Kebijakan: Pasir Laut dan Drama Eksploitasi
Indonesia seharusnya menjadi tanah yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan sumber daya yang dikelola secara berkelanjutan, bukan sekadar ladang eksploitasi. Namun, kebijakan ekspor pasir laut yang baru-baru ini disahkan oleh Presiden Joko Widodo menunjukkan sebaliknya. Pengerukan dasar laut yang diizinkan di bawah regulasi tersebut diklaim bukan untuk mengambil pasir laut, melainkan untuk sedimen. Pernyataan ini jelas menyesatkan. Pasir laut, meskipun tampak berbeda, tetap merupakan bagian dari sedimen yang sangat penting bagi ekosistem laut.
Pengerukan yang masif akan menyebabkan kerusakan parah pada lingkungan laut kita. Laut bukan hanya sekadar sumber daya; ia adalah rumah bagi beragam spesies yang saling bergantung. Dengan merusak habitat mereka, kita tidak hanya mengancam kehidupan laut, tetapi juga merusak keseimbangan ekosistem yang berfungsi untuk menjaga kesehatan planet kita. Laut memiliki peran penting dalam menyerap emisi karbon—sekitar 25 persen dari emisi karbon di darat. Jika ekosistem laut kita terancam, maka kita juga memperparah krisis iklim yang tengah dihadapi dunia saat ini.
Historisnya, kebijakan pengerukan sedimen laut telah dibatasi sejak tahun 1970-an karena menyadari dampak negatifnya. Di era Presiden Megawati Soekarnoputri, kebijakan ini mendapatkan perhatian serius dan dihentikan sepenuhnya di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kembali dibukanya izin pengerukan dan ekspor pasir laut di era Presiden Jokowi setelah dua tahun perdebatan, jelas menunjukkan sebuah langkah mundur dalam upaya menjaga lingkungan.
Sementara riset yang dirilis Centre of Economic and Law Studies (Celios) pada Oktober ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan ekspor pasir laut mengurangi produksi perikanan tangkap. Ditaksir pendapatan nelayan yang hilang Rp990 miliar dan berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor perikanan sebesar 36.400 orang. Ekspor pasir laut dianggap justru berisiko menciptakan pengangguran di kawasan pesisir. Model penambangan pasir laut dengan kapal isap dan pengangkutan tongkang juga cenderung padat modal (capital intensive) bukan padat karya (labor intensive). Tidak ada korelasi ekspor pasir laut dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berdaya saing
Ada dugaan bahwa pembukaan kembali ekspor pasir laut ini merupakan ‘kompromi’ dengan Singapura yang terus mereklamasi pantainya demi kepentingan pertumbuhan ekonomi. Namun, kompromi ini tidak sebanding dengan kerugian yang akan ditanggung oleh Indonesia—sebuah negara yang seharusnya melindungi kekayaan alamnya.
Oleh karena itu, rakyat harus bersatu dan menolak kebijakan yang merugikan ekosistem ini. Kita tidak bisa membiarkan kepentingan sesaat mengorbankan masa depan generasi mendatang. Mari kita jaga laut kita untuk generasi yang akan datang, bukan hanya untuk memenuhi kepentingan investasi sesaat. Suara rakyat sangat penting; bersama-sama kita dapat mengubah arah kebijakan dan memastikan bahwa kekayaan alam kita tetap terjaga dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Suhari Ete – Batam