Suara KSPI

Pentingnya Menyuarakan Isu Krisis Iklim dan Just Transition di Panggung May Day

Krisis iklim bukan lagi ancaman masa depan. Ia telah menjadi kenyataan yang kita hadapi hari ini. Suhu bumi meningkat, pola cuaca menjadi ekstrem, dan bencana alam seperti banjir, kekeringan, serta kebakaran hutan semakin sering terjadi. Semua ini bukan hanya ancaman bagi lingkungan, tetapi juga bagi kehidupan jutaan pekerja di Indonesia.

Sektor-sektor yang menjadi tumpuan ekonomi rakyat seperti pertanian, perikanan, kehutanan, energi, dan manufaktur berada di garis depan dampak krisis iklim. Ketika banjir merusak ladang, panas ekstrem mengurangi produktivitas, atau tambang batu bara ditutup tanpa rencana transisi yang matang, para pekerja-lah yang pertama kehilangan pekerjaan. Ini adalah krisis kaum buruh, yang paling menghantam mereka yang paling tidak punya kuasa: buruh, petani, nelayan, dan pekerja sektor informal.

Sayangnya, transisi menuju ekonomi hijau yang didorong atas nama mitigasi iklim kerap tidak adil. Prosesnya berlangsung tanpa pelibatan suara pekerja. Misalnya, dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) yang sedang dijalankan di Indonesia, keterlibatan serikat pekerja sangat minim. Padahal, keputusan-keputusan yang diambil dalam skema ini akan menentukan nasib ribuan buruh dan keluarganya.

Di sinilah pentingnya transisi yang adil. Konsep ini menegaskan bahwa perubahan menuju ekonomi rendah karbon tidak boleh mengorbankan para pekerja. Ia harus menjamin perlindungan sosial, pelatihan ulang (re-skilling), penciptaan lapangan kerja baru yang layak, dan pelibatan aktif serikat pekerja dalam perumusan kebijakan. Tanpa itu, transisi hanya akan memperdalam ketimpangan sosial dan memperparah kerentanan ekonomi kaum pekerja.

Maka, dalam momentum May Day 2025, kita harus membawa isu ini ke garis depan perjuangan. May Day bukan hanya perayaan, ia adalah panggung perlawanan dan solidaritas. Inilah saat yang tepat untuk menyuarakan bahwa Just Transition adalah hak buruh, bukan sekadar slogan. Kita harus menuntut agar negara melibatkan serikat pekerja dalam perencanaan transisi energi, menjamin pekerjaan yang layak di sektor hijau, dan menghindari pemutusan hubungan kerja massal yang tidak manusiawi.

Mengangkat isu krisis iklim dan transisi yang adil dalam May Day berarti menjawab tantangan masa depan dengan keberanian dan tekad kolektif. Karena perjuangan buruh bukan hanya tentang upah hari ini, tetapi tentang hak hidup yang layak dan adil untuk generasi masa depan.

Jika kaum buruh tidak peduli terhadap isu krisis iklim dan just transition, maka mereka sedang membiarkan nasibnya ditentukan tanpa suara. Seperti yang disampaikan di atas, krisis iklim bukan isu yang jauh dari kehidupan buruh. Ia menyentuh langsung pekerjaan, penghasilan, dan masa depan. Saat pabrik berhenti produksi karena banjir, tambang ditutup karena kebijakan transisi energi, atau suhu ekstrem menurunkan produktivitas kerja, maka buruh yang pertama merasakan dampaknya. Tanpa keterlibatan aktif, buruh akan menjadi korban dari perubahan besar yang disebut “transisi energi”.

Jika buruh tidak bersuara, maka transisi akan dikuasai oleh kepentingan modal dan lembaga internasional yang tidak memahami kebutuhan di akar rumput. Tanpa just transition, tidak ada jaminan sosial, pelatihan ulang, atau pekerjaan hijau yang aman bagi buruh. Transisi hanya akan memperlebar jurang ketimpangan dan memperkuat eksploitasi.

Karena itu, sikap diam adalah kekalahan. Buruh harus hadir, bersuara, dan menuntut keadilan dalam setiap proses perubahan. Krisis iklim adalah persoalan kelas pekerja. Jika buruh tidak memperjuangkan haknya dalam transisi ini, maka masa depan akan dibentuk tanpa keterlibatan kaum buruh — dan sering kali, justru merugikan buruh itu sendiri.

Dalam momentum May Day 2025, mari kita bersuara…

Catatan: Artikel ini ditulis dalam rangka kampanye bersama yang diprakarsai oleh KSPI, SASK, dan APHEDA sebagai bagian dari upaya mendorong transisi yang adil bagi pekerja.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *