Opini

Reformulasi BPJS Ketenagakerjaan Lebih Iklusif untuk Mensejahteraan Klas Pekerja Indonesia

Pendahuluan

Merujuk pasal 6 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS), BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kematian (JKM). Yang menjadi pembeda dengan PT Jamsostek adalah tambahan program jaminan pensiun. Pasal 1 Peraturan Pemerintah 45 tahun 2015 mendifiniskan jaminan pensiun adalah jaminan sosial yang bertujuan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi peserta dan atau ahli warisnya dengan memberikan penghasilan setelah peserta memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia.

Kepesertaan Jaminan Pensiun dimulai pada 1 Juli 2015 sesuai dengan pasal 38 Peraturan Pemerintah 45 tahun 2015. Melihat modelnya manfaat Jaminan Pensiun termasuk iuran pasti dimana iuran ditetapkan dalam peraturan dana pensiun dan seluruh iuran serta hasil pengembangannya dibukukan pada rekening masing-masing peserta sebagai manfaat pensiun.[2] Dasar perhitungan iuran Jaminan Pensiun mulai Maret 2024 adalah Rp10.042.300 ,- per bulan.

Kenaikan batas upah tertinggi sebagai dasar perhitungan program jaminan pensiun juga disertai dengan peningkatan manfaat:  manfaat pensiun paling sedikit Rp 383.400,- menjadi Rp 393,500,- dan manfaat pensiun paling banyak Rp 4.598.100 menjadi Rp 4.718.110,- Rasio keuangan aset neto jaminan pensiun saat ini Rp 167 Triliun, dengan jumlah peserta aktif mencapai 14 juta, masih ada kewajiban peserta memenuhi total sekitar Rp 400 triliun. Pada Februari 2024, solvabilitas jaminan pensiun sebesar 41,33 persen.[3]

 Pengawas Jaminan Sosial oleh Stake Holder.

Jaminan Sosial adalah salah satu hak dasar rakyat yang dilindungi oleh Konsitusi khususnya Pasal 28 huruf H ayat 3 dan Pasal 34 ayat 2. Dengan sudah beroprasinya BPJS Ketenagakerjaan sejak 1 Januari 2014, maka sudah sepatutnya Serikat Pekerja/Serikat Buruh ikut melakukan pengawasan eksternal agar hak atas akses Jaminan Sosial bisa didapatkan oleh seluruh kelas pekerja khususnya pekerja formal dan informal tanpa diskriminatif serta manfaat Jaminan Sosial bisa terus ditingkatkan. Data Umum Ketenagakerjaan Indonesia berdasarkan Kemenaker adalah sbb:

Sumber: Kemenaker.go.id

Pengelolaan Program dan Dana Jaminan Sosial tahun 2023

Sumber:Laporan Pengelolaan Program Tahunan BPJS Ketenagakerjaan. (https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id)

Sumber:Laporan Pengelolaan Program Tahunan BPJS Ketenagakerjaan. (https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id)

Total dana Investasi Rp 712, 300 Trilyun dari sebelumnya Rp 627,794 Trilyun naik sebesar Rp 84,506 Trilyun, dengan YOI rata-rata YOI 6,74 %. Investasi terbesar pada dana JHT sebesar 63, 49 % disusul JP sebesar 22, 29 %.

BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek mencatat jumlah tenaga kerja aktif di tahun 2023 mengalami pertumbuhan 15,89% year on year (YoY) menjadi 41,46 juta atau  bertambah 5,6 juta peserta aktif dari dibandingkan tahun 2022 sebesar 35,86 juta. Di tahun 2024, menargetkan peserta aktif bertambah 12,4 juta menjadi 53,86 juta peserta. Fokus meningkatkan kepesertaan di sektor pekerja informal serta usaha skala kecil dan  mikro lewat strategi retensi, intensifikasi dan ekstensifikasi, pada lima ekosistem yaitu desa, pasar, e-commerce dan UKM serta pekerja rentan. Penerimaan iuran melonjak 9,77% YoY menjadi Rp 96,94 triliun di tahun 2023, dibandingkan tahun 2022 sebesar Rp 88,31 triliun.

Di tahun 2024, menargetkan sebesar Rp 107,86 triliun. Pembayaran manfaat (klaim) naik 7,52% YoY menjadi Rp 52,72 triliun di 2023, dibandingkan tahun 2022 sebesar Rp 49,03 triliun. Di tahun 2024, ditargetkan nilai klaim Rp 62,46 triliun. Di sisi lain, pertumbuhan dana investasi sebesar 12,95% YoY menjadi Rp 708,98 triliun di 2023, dibandingkan tahun 2022 Rp 627,69 triliun. Tahun 2024, ditargetkan mencapai Rp 812,66 triliun. Hasil investasi tumbuh sebesar 17% YoY  menjadi Rp 47,07 triliun di 2023, dibandingkan tahun 2022 yang sebesar Rp 40,23 triliun.

Di tahun 2024 ditargetkan mencapai Rp 55,28 trilyun. Instrumen surat utang atau obligasi masih menjadi instrumen dengan alokasi penempatan terbesar yaitu Rp 513,4 triliun atau 72,22% dari total dana investasi. Rinciannya, 93,3% Surat Utang Negara (SUN) dan 1,4% surat utang korporasi. Instrumen  menghasilkan Rp 36,08 triliun atau berkontribusi sebesar 76,4% dari total hasil investasi di tahun 2023 dengan YOI (yeild of investment) setara 7,54%. Pengelolaan investasi dilakukan secara aktif dan dinamis menyesuaikan proporsi alokasi aset investasi seperti saham, reksadana, surat utang, dan deposito sesuai perkembangan kondisi ekonomi dengan memperhatikan kondisi likuiditas, solvabilitas, optimasi hasil investasi, prinsip kehati-hatian, dan tata kelola yang baik. Strategi investasi di tahun 2024 difokuskan menambah alokasi instrumen saham yang memiliki potensi return yang lebih tinggi serta memiliki tingkat valuasi yang menarik (attractive valuation).[4]

Pemerintah melalui Kementrian Ketenagakerjaaan menilai program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dapat menggantikan program Jaminan Hari Tua (JHT) yang menjadi andalan kalangan buruh saat mengalami PHK. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menyebut ketika Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No.19 Tahun 2015 berlaku, belum ada alternatif skema jaminan sosial bagi para pekerja/buruh yang mengalami PHK. Mengingat telah ada program JKP, fungsi JHT dikembalikan lagi sebagai jaminan sosial bagi pekerja/buruh ketika mencapai usia pensiun. Pemerintah merasa perlu untuk menerbitkan Permenaker No.2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT), dimana manfaat JHT baru bisa dinikmati buruh setelah mencapai masa pensiun usia 56 tahun.

Program JKP sudah berjalan dengan suntikan dana yang dialokasikan pemerintah sebesar Rp6 triliun dan Rp823 miliar. Permenaker No.2 Tahun 2022 berlaku efektif 4 Mei 2022. Tujuan beleid tersebut untuk memberikan perlindungan paripurna kepada pekerja/buruh di masa tua. Risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) saat ini sudah ada program JKP. Proses pembentukannya dinilai tertutup dan tidak transparan.[5] Permenaker No.2 Tahun 2022 perlu direvisi atau ditangguhkan sampai dilakukan evaluasinya PP No.37 Tahun 2021 tentang JKP.

Pemerintah melalui Presiden Prabowo Subiyanto pada tahun 2025 telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) terbaru dalam upaya meningkatkan perlindungan bagi pekerja Indonesia dengan PP No 6 Tahun 2025 sebagai pengganti PP No 37 Tahun 2021. Melalui aturan baru pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan meningkatkan manfaat uang tunai bagi pekerja yang mengalami PHK mencapai 60 % dari upah yang dilaporkan selama enam bulan dengan batas upah maksimal Rp 5 Juta dimana pada aturan sebelumnya hanya 45 % untuk 3 bulan pertama dan 25 % untuk 3 bulan berikutnya. Aturan juga disederhanakan dengan meniadakan syarat iuran selama 6 bulan berturut-turut serta masa kadaluarsa manfaat selama 6 bulan. Iuran JKP memiliki skema baru dengan komposisi 0,36 % dari iuran JKK dan 0,14% dari JKM dan pemerintah sebesar 0,22%.[6]

Sumber:Laporan Pengelolaan Program Tahunan BPJS Ketenagakerjaan. (https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id)

Dinamika penetapan iuran Jaminan Pensiun      

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengecam rumusan perhitungan manfaat dan iuran Kementerian Keuangan karena manfaat jaminan pensiun (JP) yang diterima tidak layak.. KSPI  menolak besaran iuran JP usulan Kemenkeu 3 persen dari upah satu bulan, karena besaran iuran itu tidak rasional. Iuran JP di sejumlah negara di kawasan Asia seperti Singapura (33 persen), China (28 persen) dan Malaysia (23 persen). Kemenkeu juga tidak mempersiapkan besaran iuran PNS, Polri dan TNI yang akan bergabung ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 2029.  KSPI mengusulkan manfaat JP yang diterima setiap bulan minimal 60 persen dari upah rata-rata satu tahun terakhir. Besaran iuran JP10-12 persen dari upah rata-rata satu tahun terakhir.[7]  ILO menetapkan manfaat JP minimal 40 persen dan buruh menuntut manfaatnya sampai 75 persen.

Besaran iuran jaminan pensiun terjadi tarik ulur Pemerintah yang diwakil Kementerian Keuangan mengusulkan besaran angka iuran jaminan pensiun sebesar 3 persen. Sedangkan dari kalangan pekerja sebesar 8 persen. Sementara dari kalangan pengusaha sebesar 1,5 persen. [8]  Rancangan Peraturan Pemerintah  tentang Iuran Jaminan Pensiun yang sudah berada di Presiden Jokowi belum menyertakan persetujuan Kementerian Keuangan. Anggota Komisi IX Irgan Chairul Mahfiz menyatakan, DPR RI akan terus mendorong pekerja formal mendapat jaminan pensiun yang diamanatkan konsitusi melalui UU yang berlaku. Iuran pensiun sebesar 8 persen yang dibebankan kepada pemberi kerja dan pekerja. Pemberi kerja dibebankan 5 persen, sedangkan 3 persen menjadi tanggungan pekerja dari gaji yang diterimanya. Sementara dari pihak Kemenkeu mengusulkan iuran pensiun mulai dari 3 persen. Setiap dua tahun atau tiga tahun sekali iuran bertambah sebesar 0,2 hingga 0,3 persen. Meski iuran lebih rendah dari 8 persen, peserta berhak atas manfaat pasti setelah membayar iuran minimal selama 15 tahun.      

Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri memastikan besaran iuran jaminan pensiun sebesar delapan persen yang terdiri atas pemberi kerja sebesar lima persen dan pekerja tiga persen yang akan mulai berlaku pada Juli 2015.  Rancangan Peraturan Pemerintah sudah tahap finalisasi akhir, tinggal proses harmonisasi dari Kemenkumham dan menunggu pengesahannya. Rapat koordinasi tentang Rancangan Peraturan Pemerintah pelenggaraan Program Jaminan Pensiun yang digelar di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan. Hadir dalam rakor tersebut Sekjen Kemnaker Abdul Wahab Bangkona, Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker R. Irianto Simbolon, Plt Dirjen Kemnaker Muji Handaya, Direktur Harmonisasi Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kemkumham Nasrudin, Ketua DJSN Chazali H. Situmorang dan Dirut BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya.

Pembahasan sudah cukup lama dilakukan dan melibatkan pembahasan di Lembaga Tripartit Nasonal dan antar Kementerian/Lembaga terkait yaitu Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, DJSN, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BPJS Ketenagakerjaan. Dalam subtansi akhir dijelaskan peserta program jaminan pensiun adalah pekerja yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara. Sedangkan bagi pekerja yang bekerja pada pemberi kerja penyelenggara negara akan diintegrasikan ke BPJS Ketenagakerjaanselambat-lambatnya tahun 2029. Masa iuran minimal untuk mendapatkan manfaat adalah 15 tahun dan ditetapkan pertama kali usia pekerja 56 tahun.[9]

Anggota Komisi IX DPR RI Amelia Anggraini, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera mensahkan Rancangan Peraturan Pemerintah Jaminan Pensiun. Pasalnya, pada 1 Juli 2015, harus sudah diberlakukan, Minggu (14/6/2015). Lambannya proses pengesahan karena tarik menarik soal iuran yang belum ada titik temu antara Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) bersama Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Kemenaker dan DJSN mengusulkan 8 persen Kemenkeu mengusulkan 3 persen, namun Apindo meminta 1,5 persen. Menurutnya, besaran iuran JP 8 persen sudah rasional. Iuran awal 8 persen bisa memenuhi amanat Pasal 39 Undang-undang (UU) No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yaitu pekerja yang pensiun bisa memenuhi kebutuhan hidup. Iuran 3 persen, apalagi 1,5 persen, sangat jauh untuk memenuhi hidup layak buruh yang pensiun.

Mengenai iuran JP, pihaknya meminta Presiden Jokowi harus tegas menyatakan bahwa 8 persen sebagai iuran awal. Iuran awal 1,5 persen yang diusulkan Apindo merupakan masalah bagi buruh ketika pensiun nantinya. Iuran 1,5 persen, maka buruh yang pensiun beserta keluarganya akan sulit mencapai kehidupan yang layak. Merujuk UU No 40 Tahun 2004 Pasal 39 yang mengamanatkan program pensiun harus bisa memenuhi kebutuhan layak buruh beserta keluarganya saat pensiun. ILO (International Labour Organization) sudah memberikan standar bahwa pekerja yang pensiun paling rendah menerima 40 persen dari rerata upah terakhir. Kalau 1,5 persen atau 3 persen yang diusulkan Apindo, maka akan sulit mencapai minimal 40 persen.

Kemenkeu tetap kukuh mengusulkan 3 persen, pihak Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengusulkan 1,5 persen. Bila pensiun sebesar 3 persen ataupun 1,5 persen, maka dipastikan pekerja yang pensiun akan gagal mencapai kebutuhan hidup layak. Pemerintah bersama BPJS Ketenagakerjaan haruslah menerapkan Peraturan  Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang sanksi kepada pemberi kerja yang tidak patuh mendaftarkan pekerjanya kepada BPJS Ketenagakerjaan.[10]

Satu dasa warsa Jaminan Pensiun 

Berdasarkan Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, program jaminan pensiun, aset dana jaminan sosialnya diproyeksikan dapat membiayai manfaat program hingga akhir 2072 dengan menggunakan iuran jaminan pensiun sebesar 3 persen. Apabila mengandalkan iuran tanpa hasil investasi dan dana kelolaan, ketahanan dana cukup hingga tahun 2056. Dari rasio klaim, dengan mempertimbangkan eligibilitas manfaat pensiun normal, rasio klaim per Juni 2023 adalah 5 persen. Rasio klaim ini sudah termasuk pembayaran manfaat pensiun untuk kasus meninggal dunia, cacat total tetap, serta pengambilan manfaat secara lump sum (keseluruhan). Kendati aset dana jaminan sosial jaminan pensiun diproyeksikan bertahan sampai tahun 2072, kewajiban aktuaria akan muncul setelah tahun 2051, akibat distribusi peserta usia muda tinggi.

Guna memperpanjang ketahanan dana program jaminan pensiun, perlu terus melakukan kajian nilai iuran jaminan pensiun yang sesuai, pengelolaan aset, dan investasi sebagai langkah mitigasi risiko pendanaan program. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun mengamanatkan, persentase iuran jaminan pensiun paling cepat tiga tahun dievaluasi sejak program mulai berjalan 1 Juli 2015. Persentase iuran harus disesuaikan menuju 8 persen, bertujuan untuk menjadi salah satu pendukung ketahanan aset. Sampai sekarang, pemerintah belum memutuskan untuk meningkatkan persentase iuran.

Pada tahun 2030 atau 15 tahun setelah jaminan pensiun beroperasi sudah ada peserta yang menerima manfaat masa iur secara anuitas (jaminan pendapatan bagi seorang pensiunan sampai kematiannya, dan setelah kematiannya, sebagai manfaat bagi pasangannya) . Deputi Bidang Aktuaria dan Riset Jaminan Sosial BPJS Ketenagakerjaan, Arief Dahyan Supriadi, mengatakan, jaminan pensiun bukan program yang main-main. Negara bisa kolaps karena ketahanan aset jaminan pensiun merosot. Dengan memakai asumsi kondisi demografi penduduk, inflasi, produk domestik bruto, kenaikan upah, dan hasil investasi, aset jaminan pensiun diperkirakan habis pada 2072, tetapi pemberian manfaat berkala akan mulai marak tahun 2065. Durasi ketahanan dana jaminan pensiun hanya sekitar 7 tahun (dari 2065 ke 2072).[11]

Beberapa negara di Asia, telah memiliki ketahanan aset jaminan pensiun yang lebih panjang dibandingkan dengan Indonesia. Di Filipina, pada periode jaminan pensiun sudah mencairkan manfaat berkala mulai marak (mature period), ketahanan dana jaminan pensiunnya telah mencapai 33 tahun. Dalam kurun waktu 8 tahun jaminan pensiun berdiri, Pemerintah Korea Selatan dan Thailand telah menaikkan iuran jaminan pensiun menjadi 6–8 persen. Indonesia belum pernah menaikkan persentase iuran jaminan pensiun, masih 3 persen.

Dalam kurun waktu 8 tahun jaminan pensiun berdiri, Pemerintah Korea Selatan dan Thailand telah menaikkan iuran jaminan pensiun menjadi 6–8 persen. Ketahanan aset jaminan pensiun secara jangka panjang, bisa dilakukan lewat cara lain di luar menaikkan persentase iuran. Salah satunya adalah dengan menempatkannya di instrumen investasi yang memberikan imbal hasil lebih tinggi. Solusi lainnya yaitu membuka akses program jaminan pensiun untuk BPU supaya jumlah peserta yang mengiur bertambah. Berdasarkan pengamatannya, sejumlah pekerja formal atau penerima upah yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) beralih profesi menjadi wiraswasta yang berarti dapat digolongkan BPU. Mereka pun pada akhirnya tua.

Ketika mendapat kesempatan mengikuti program jaminan pensiun sekalipun bayar sendiri seluruh nilai iuran, mereka tetap bisa menerima manfaat 15 tahun masa iur. Social Protection Manager International Labour Organization (ILO) untuk Indonesia, Tsuruga, menekankan, Indonesia mulai memasuki populasi penduduk tua. Sekitar 7 persen dari total populasi penduduk Indonesia sekarang sudah berusia 65 tahun ke atas. Pada 2045, penduduk lanjut usia (lansia) diproyeksikan 14 persen dari total populasi penduduk, untuk menciptakan dana pensiun yang berkelanjutan dan memadai, negara mana pun akan membutuhkan banyak waktu.

Memperluas cakupan pensiun, Indonesia memerlukan sistem asuransi sosial dan skema subsidi pensiun yang terintegrasi. Selain itu, belum ada peraturan yang secara jelas mengatur batasan pensiun karena terdapat perbedaan pengertian batasan pensiun. Kesejahteraan merupakan hal yang penting di masa lansia. Di Indonesia, kelompok lansia perempuan memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi dibandingkan laki-laki pada usia 60-74 tahun.

Sementara tingkat kemiskinan warga lansia laki-laki cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan pada usia 75 tahun ke atas.  Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT), peserta  BPU sudah dibuka pilihan mendaftar jadi peserta JHT. Sejumlah pemerintah daerah telah membuka program yang membantu pembayaran iuran bagi BPU rentan, tetapi ini pun masih lebih banyak untuk membayar iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).[12]

Di Indonesia, kelompok lansia perempuan memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi dibandingkan laki-laki pada usia 60-74 tahun. Sementara tingkat kemiskinan warga lansia laki-laki cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan pada usia 75 tahun ke atas. Indonesia diperkirakan akan memiliki 70 juta orang lanjut usia atau penduduk diatas usia 60 tahun pada 2045. Usulan perluasan kepesertaan program jaminan pensiun, pekerja formal dan informal baiknya menjadi program mandatory (wajib).[13]

TANTANGAN DAN PERBAIKAN ATURAN JAMINAN SOSIAL

Pelaksanaan UU SJSN  dan UU BPJS dalam kurun waktu 11 (sebelas) tahun berjalan secara dinamis serta terdapat beberapa permasalahan dan tantangan dalam hal penyelenggaraan jaminan sosial nasional di Indonesia antara lain:

Dalam aspek struktur filosofis, Jaminan Sosial wajib didapatkan oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai Hak Konsitusi mulai dari lahir sampai meninggal dunia dan negara wajib hadir pada saat warga negaranya mengalami kesulitan ekonomi, baik karena tertimpa musibah/ kecelakaan dan atau sakit juga karena kehilangan pekerjaannya baik karena PHK atau memasuki usia pensiun agar tetap bisa hidup layak, memiliki daya beli, memiliki perumahan dan menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat perguruan tinggi agar bisa hidup layak dan bermartabat dalam rangka menuju Indonesia Emas di tahun 2045.

Dalam aspek struktur hukum, beberapa pasal-pasal baik UU SJSN maupun UU BPJS telah dilakukan Judicial Review (JR ) ke Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga perlu dilakukan tidak lanjut dengan melakukan perbaikan pada pasal-pasal tersebut atau menghapusnya segera agar ada kepastian hukum.

Dalam aspek ekonomi (pendanaan), BPJS Ketenagakerjaan terkait iuran Jaminan Pensiun masih stragnan di angka 3 % padahal diamatkan untuk dievaluasi secara berkala menuju 8 % agar keberlangsungan program Jamianan Pensiun bisa terjaga saat peserta mulai mendapatkan manfaat Jamianan Pensiun pada tahun 2030.

Dalam aspek sosial dan kepesertaan, dimana makin banyak peserta yang tidak aktif dan belum terdaftar karena terkendala masalah administrasi kependudukan dan kepastian pendapatan khususnya pasca terjadinya pandemi Covid 19 yang menyebabkan banyak para pekerja/ buruh terkena dampak PHK massa dalam kurun waktu 4 (empat) tahun belakangan ini. Selain itu kurang massif dalam menjalankan  sosialisasi dan edukasi akan peran pentingnya Jaminan Sosial pada masyarakat oleh pihak BPJS Ketenagakerjaan akibat kurang aktifnya melibatkan masyarakat baik Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Pemberi Kerja dan tokoh Masyarakat BPJS terkesan pasif dalam menerima pendaftaran pesrta dan kurang upaya melakukan pendekatan dan improvisasi saat ada peserta yang tidak aktif baik karena tidak adanya kemauan mengiur (willingness to pay) maupun kemampuan mengiur (ability to pay). Bila makin banyak peserta yang tidak aktif atau belum terdaftar maka tidak akan mendapatkan Jaminan dan perlindungan sosial saat menadapatkan kesulitan ekonomi, sehingga bisa meningkatkan angka kemiskinan secara sistemik dan bisa berlanjut pada ketimbangan sosial di masyarakat. Khusus untuk BPJS Ketenagakerjaan, jumlah kepsertaan Jaminan Pensiun juga menjadi tantangan tersendiri karena sampai tahun 2024 baru mencapai angka 15 jutaan peserta dari 61 Juta Pekerja formal di Indonesia.

Dalam aspek manfaat jaminan sosial, dari lima program yang sudah berjalan maka merujuk pada konvesi ILO No 102 tahun 1952 diharapkan bisa ada manfaat tambahan yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan dan Pengaguran, Jaminan Perumahan dan Jaminan Pendidikan sampai perguruan tinggi bagi anak pekerja/ buruh yang wajib didapatkan sebagai Hak warga negara agar bisa hidup  layak dan menigkatkan kesejahteraan agar ada keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.

      Merujuk pada aspek filosofis, hukum, ekonomi, sosial dan manfaat maka beberapa hal yang menurut pandangan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) perlu dilakukan perbaikan adalah beberapa hal sebagai berikut :

      1. Terkait badan pelaksana Program Jaminan Sosial, sampai tahun 2025 ada dua BPJS yang sudah berjalan dengan 5 (lima) program yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Untuk PT Taspen dan PT ASBARI tetap terpisah khusus menjalankan Jaminan Sosial untuk ASN dan TNI- POLRI dengan program Jaminan Pensiun karena adanya putusan MK Nomor 6/PUU-XVIII/2020, [14] dimana tidak bergabung dengan BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2029 dan tetap berstatus sebagai BUMN dibawah Kementrian BUMN bukan badan hukum publik dibawah Presiden. Sebagai konsekwensinya pasal yang terkait kedua BUMN tersebut wajib dihapus. Secara administrative dan finansial akan lebih baik karena Direksi ke dua BUMN tersebut jadi tersangka kasus Korupsi dan BUMN rawan dari tindakan pidana gratifikasi, suap sampai korupsi.[15]
      2. Terkait kepesertaan dan iuran, tidak perlu lagi ada pentahapan tapi bersifat wajib (mandatory) karena sudah lebih satu dasa warsa berjalan sehingga perlu penegakkan kepatuhan yang lebih tegas dengan sanksi pidana dan denda yang lebih besar agar kepesertaan dan iuran yang diterima n BPJS Ketenagakerjaan,[16] bisa lebih optimal dan keberlanjutan program bisa berjalan lebih baik dan terjamin. Khusus terkait Jaminan Pensiun[17] wajib mendapatkan perhatian dari semua pihak terkait karena akan sangat penting saat manfaat akan didapatkan bisa membantu peningkatan daya beli kelas pekerja dan ekonomi negara secara umum
      3. Terkait tambahan Program, dengan merujuk pada konvesi ILO No 102 tahun 1952 [18] dan Rekomendasi ILO No 155 tahun 1961[19], maka diharapkan ada 3 (tiga) program tambahan Jaminan Sosial yaitu; Jaminan Kehilangan Pekerjaan dan Penganguran, Jaminan Perumahan Pekerja serta Jaminan Pendidikan bagi anak Pekerja sampai Perguruan Tinggi, sehingga dengan ke tiga program tambahan bisa terwujud keadilan sosial bagi kelas pekerja dan bisa dikurangi kesenjangan sosial yang ada agar kelas pekerja bisa bebas dari kemiskinan yang sistemik dan bisa terwujudnya Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat. Indonesia dari mulai lahir sampai menginggal dunia (seumur hidup).
      4. Terkait tata kelola BPJS, sangat penting untuk melakukan tata kelola yang baik agar program jaminan sosial bisa bebas dari gratifikasi, suap, kolusi, nepotisme dan korupsi yang menjadi penyebab banyak kementrian dan lembaga turun kepercayaannya dimata publik dan keberlangsunnya bisa terancam karena prilaku korup para pengelolanya,[20] Tata kelola yang baik wajib diatur dalam aturan setingkat undang-undang agar memiliki kekuatan hukum yang pasti sehingga publik makin meningkat kepercayaannya ditengah makin maraknya kasus-kasus Korupsi di negara ini yang sangat merugikan rakyat umunya dan kelas pekerja khususnya karena akan mengancam keberlangsungan program Jaminan Sosial dalam jangka panjang.
      5. Terkait penguatan dan profesionalisme para pimpinan di SJSN dan BPJS serta penguatan dalam pengawasan oleh SJSN dan Dewan Pengawas maka diperlukan penambahan usia para pimpinan agar bisa didapat pemmipin yang lebih bijak dan berpengalaman dalam melakukan pengawasan, monitoring dan evalusi serta pemberian saran dan nasihat pada direksi sebagai pelaksana program Jaminan Sosial yang diharapkan akan bertambah mejadi 8 (delapan) program. Hal lain jaga terkait adanya peningkatan usia pensiun para pimpinan di kementrian dan lembaga[21] serta ASN dan TNI-Polri untuk pucuk pimpian tertingginya. Dengan makin banyaknya peserta dan dana kelola yang didapat tiap tahunnya serta cakupan wilayah pengawasan seluruh Indonesia yang sangat banyak, maka sangat penting untuk menambahkan jumlah pengawas dari unsur pekerja dan pengusaha agar pelaksaan program oleh direksi bisa makin optimal dengan pemberian saran nasihat dan pertimbangan yang lebih efektif dan optimal.
      6. Terkait kepatuhan, diperlukan sinergitas dan peran aktif aparat penegak hukum oleh PPNS dan Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) dalam memastikan kepatuhan bagi badan usaha dan kerja sama dengan pihak Kepolisian dan terkait lainnya, [22] agar tingkat kepatuhan dan kepesertaan makin meningkat

      SARAN DAN REKOMENDASI

      Dari tantangan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang belum bisa memberikan perlindungan seumur hidup dari mulai lahir sampai meninggal dunia, maka ada beberapa saran dan rekomendasi penting agar Jaminan Sosial bisa menuju pada keadilan sosial Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memberikan beerpa saran dan rekomendasi sebagai berikut:

      1. Pemerintah dan DPR RI harus disadarkan lagi bahwa hak konsitusi rakyat atas Jaminan Sosial seumur wajib dipenuhi oleh negara sebagai Hak Dasar seluruh rakyat tanpa diskriminasi.
      2. Perbaikan UU SJSN dan BPJS harus didesak untuk dilakukan karena beberapa pasal-pasal sudah tidak punya relevansi, karena sudah mengalami Judicial Review (JR) dan diputuskan hasilnya oleh Mahkamah Konsitusi (MK) sehingga DPR RI wajib segera menjalankan putusan MK secepatnya agar ada kepastian hukum.
      3. Serikat Pekerja/ Serikat Buruh serta Organisasi Kemasyaratan dan tokoh masyarakat serta tokoh agama wajib dilibatkan dan didengarkan masukan perbaikannya agar tercipta partisipasi publik yang bermakna (meaning full partisipatioan) yang diatur dalam UU P3, sehingga perbaikan UU Jaminan Sosial tidak kembali terjadi Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konsitusi (MK).
      4. Usulan perluasan kepesertaan program jaminan pensiun, pekerja formal dan informal baiknya menjadi program mandatory (wajib) dengan disertai sanksi baik administratif sampai pidana khususnya bagi pengusaha yang tidak mengikut sertakan para pekerja/ buruhnya.
      5. Khusus program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) secara prinsip wajib dievaluasi pelaksaannya dan diaudit dana kelolanya karena akan menggerus dana JKK dan JKM karena mengunakan model Rekomposisi yang tidak dibenarkan oleh UU SJSN.Bila akan dilanjutkan wajib dimasukan sebagai program tambahan dalam perbaikan UU SJSN dan BPJS agar bisa memberikan Jaminan atas keberlangsungan program disaat makin maraknya PHK ditahun 2025.

      [1] Ramidi, Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Periode 2022- 2027

      [2] https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-statistik/dana-pensiun  (diakses 24 April 2025)

      [3]https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/28795/Jelang-Satu-Dekade,-Iuran-Jaminan-Pensiun-BPJS-Ketenagakerjaan-Bertahan-3-Persen.(diakses 24 April 2025)

      [4] https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/28723/BPJS-Ketenagakerjaan-Racik-Strategi-Lanjutkan-Pertumbuhan-Kinerja-pada-Tahun-Ini (diakses 24 April 2025)

      [5] https://www.hukumonline.com/berita/a/program-jkp-dinilai-belum-inklusif-melindungi-buruh-ketimbang-jht-lt62132f23c69c1/ (diakses pada 24 April 2025)

      [6] https://www.tempo.co/ekonomi/kenali-jenis-jenis-perlindungan-pekerja-dalam-peraturan-pemerintah-jkp-jkk-dan-jkm-1209552 (diakses pada 24 April 2025)

      [7] https://www.hukumonline.com/berita/a/buruh-tuntut-manfaat-pensiun-minimal-60-persen. (diakses 24 April 2025).

      [8] https://www.hukumonline.com/berita/a/pemerintah-didesak-tetapkan-besaran-iuran-jaminan-pensiun. (diakses 24 April  2024).

      [9] https://www.antaranews.com/berita/489726/menaker-iuran-jaminan-pensiun-delapan-persen. (diakses 24 April 2025)

      [10] https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita. (diakses pada 24 April 2025)

      [11]https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/28795/Jelang-Satu-Dekade,-Iuran-Jaminan-Pensiun-BPJS-Ketenagakerjaan-Bertahan-3-Persen (diakses 24 April 2025)

      [12] https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/28795/Jelang-Satu-Dekade,-Iuran-Jaminan-Pensiun-BPJS-Ketenagakerjaan-Bertahan-3-Persen. (diakses 24 April 2025)

      [13] https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/05/24/seberapa-urgen-jaminan-pensiun-adi-program-mandatori-bagi-seluruh-pekerja.Diakses pada (25 April 2025)

      [14] https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_8142.pdf (diunduh pada 24  April 2025)

      [15] https://www.liputan6.com/news/read/5953683/kpk-periksa-3-saksi-di-kasus-korupsi-investasi-fiktif-taspen (diunduh pada 24 April 2025)

      [16]https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/download/Instruksi%20Presiden%20Nomor%202%20Tahun%202021%20tentang%20Optimalisasi%20Pelaksanaan%20Program%20Jaminan%20Sosial%20Ketenagakerjaan.pdf ( diunduh 24 April 2025 )

      [17] https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/28795/Jelang-Satu-Dekade,-Iuran-Jaminan-Pensiun-BPJS-Ketenagakerjaan-Bertahan-3-Persen ( diakses pada 25  April  2025)

      [18] https://www-ilo-org.translate.goog/resource/ilo-social-security-minimum-standards-convention-1952-no-102?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc ( diakses  pada 25  April 2025)

      [19] https://normlex.ilo.org/dyn/nrmlx_en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P12100_ILO_CODE:R115 ( diunduh pada 14 Maret 2025)

      [20] https://peraturan.bpk.go.id/Details/132017/perpres-no-25-tahun-2020 ( diakses pada 25  April 2025)

      [21] https://www.bkn.go.id/cek-batas-usia-pensiun-pns-berdasarkan-jenis-jabatan/ ( diakses pada 25 April 2025)

      [22] https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/27931/Tingkatkan-Kepatuhan,-BPJAMSOSTEK-Sepakat-Tandatangani-Kerja-Sama-dengan-Polri (diunduh pada 25 April 2025)

      Leave a comment

      Your email address will not be published. Required fields are marked *