Ribuan Buruh Bakal Aksi Tolak Tapera di Istana Tanggal 6 Juni
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyampaikan, ribuan buruh bakal melakukan unjuk rasa di depan Istana pada hari Kamis, 6 Juni 2024. Ribuan buruh ini berasal dari Jabodetabek dan berbagai organisasi serikat perkerja.
Menurut Said Iqbal, kebijakan Tapera merugikan dan membenani pekerja dengan iuran. Di mana meski setelah mengiur selama 10 hingga 20 tahun, buruh tetap saja tidak memberikan kepastian bisa memiliki rumah.
Selain itu, dalam Tapera, Pemerintah dinilai lepas tanggung jawab dalam menyediakan rumah. Hal ini karena Pemerintah hanya bertindak sebagai pengumpul iuran, tidak mengalokasikan dana dari APBN maupun APBD.
“Permasalahan lain adalah dana Tapera rawan dikorupsi, serta ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana,” lanjutnya.
Selain aksi menolak PP Tapera, isu lain yang diangkat dalam aksi ini adalah Tolak Uang Kuliah Tunggal (UKT) Mahal, Tolak KRIS BPJS Kesehatan, Tolak Omnibuslaw UU Cipta Kerja, dan Hapus OutSourching Tolak Upah Murah (HOSTUM).
Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal juga direspon oleh kaum buruh. Pendidikan, yang seharusnya menjadi jalan menuju kehidupan yang lebih baik, kini menjadi beban yang menghimpit. Bagi anak-anak buruh, mimpi untuk meraih pendidikan tinggi menjadi semakin sulit dengan biaya yang terus melambung.
Hal lain yang akan disuarakan adalah penolakan kebijakan Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) yang dinilai tidak adil dan merugikan. Buruh berpendapat bahwa penyamarataan fasilitas rawat inap ini justru menurunkan kualitas layanan kesehatan yang diterima pekerja. Di tengah kondisi kerja yang semakin fleksibel dan tidak menentu, buruh membutuhkan jaminan kesehatan yang memadai dan berkualitas.
“KRIS, tidak menjawab kebutuhan tersebut, malah memperburuk pelayanan di rumah sakit yang sudah penuh sesak. Buruh menuntut pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan memastikan pelayanan kesehatan yang adil dan layak bagi seluruj rakyat,” ujar Said Iqbal.
Omnibuslaw UU Cipta Kerja juga menjadi target utama penolakan. Hukum yang diklaim akan mendorong investasi ini, bagi para buruh, adalah simbol ketidakadilan yang melegalkan eksploitasi. Fleksibilitas kerja melalui kontrak dan outsourcing yang semakin bebas, hanya memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk memperlakukan buruh sebagai alat produksi semata, bukan sebagai manusia yang memiliki hak dan martabat.
Belum lagi, UU Cipta Kerja juga menyebabkan upah murah, pesangon rendah, mudahnya PHK, jam kerja yang fleksibel, hingga hilangnya beberapa saksi pidana.
“Tidak ketinggalan, buruh juga menuntut Hapus OutSourcing Tolak Upah Murah (HOSTUM),” lanjutnya.
Sistem outsourcing yang tidak memberikan kepastian kerja dan upah yang jauh dari layak, telah menempatkan buruh dalam kondisi yang semakin sulit. Hidup mereka seperti terombang-ambing dalam ketidakpastian yang terus menghantui.
Bagi Partai Buruh dan KSPI, aksi ini bukan sekadar protes, tetapi sebuah pernyataan tegas bahwa para buruh tidak akan diam menghadapi ketidakadilan. Kelas pekerja akan berdiri tegak, menuntut hak-haknya, dengan keyakinan bahwa masa depan yang lebih baik hanya bisa diraih melalui perjuangan yang tiada henti.