Seminar

RUU Ketenagakerjaan Baru: Ruang Perjuangan Bersama untuk Pekerja dan Keadilan Gender

Pada tanggal 21–22 April 2025, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyelenggarakan workshop keempat dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan yang baru. Bertempat di Pusdiklat FSPMI, Bogor, kegiatan ini menjadi bagian dari komitmen berkelanjutan KSPI dalam memperjuangkan sistem hukum ketenagakerjaan yang lebih adil, demokratis, dan berpihak pada kepentingan buruh.

Rapat ini dihadiri oleh para pimpinan serikat pekerja dari berbagai sektor, tim penyusun RUU, serta anggota Komite Perempuan KSPI. Dalam suasana yang penuh semangat, mereka membahas satu per satu pasal penting yang menjadi landasan perjuangan buruh ke depan. Topik-topik krusial seperti penghapusan sistem kerja fleksibel, penguatan hak berserikat, jaminan sosial, upah layak, serta perlindungan bagi pekerja di sektor gig economy menjadi fokus utama.

Pertemuan ini sekaligus menegaskan bahwa penyusunan RUU Ketenagakerjaan bukan hanya respons atas krisis yang ditimbulkan oleh Undang-Undang Cipta Kerja—yang membuka jalan bagi liberalisasi pasar tenaga kerja secara masif—tetapi juga bagian dari strategi jangka panjang gerakan buruh untuk membalik arah kebijakan ketenagakerjaan nasional.

Yang membedakan proses kali ini dengan banyak perumusan undang-undang sebelumnya adalah keterlibatan aktif Komite Perempuan KSPI. KSPI sadar bahwa ketimpangan gender dalam dunia kerja tidak bisa hanya diselesaikan melalui pendekatan umum, melainkan membutuhkan kehadiran nyata suara perempuan dalam proses penyusunan kebijakan.

Komite Perempuan bukan hanya hadir secara simbolik, melainkan mengambil peran substantif dalam mengangkat isu-isu yang selama ini terpinggirkan. Dalam diskusi tersebut, muncul berbagai persoalan yang dihadapi oleh buruh perempuan—mulai dari diskriminasi upah, keterbatasan akses terhadap posisi strategis, hingga praktik eksploitasi terhadap perempuan dalam sistem kerja informal dan outsourcing.

Perhatian khusus juga diberikan pada perlindungan terhadap kekerasan dan pelecehan di tempat kerja, serta pemenuhan hak-hak spesifik seperti cuti haid dan cuti melahirkan. Para anggota Komite Perempuan menegaskan bahwa ketidakadilan berbasis gender tidak bisa dianggap sebagai masalah sekunder, melainkan harus menjadi bagian dari agenda utama dalam RUU Ketenagakerjaan.

Dengan demikian, proses ini menjadi ruang perjuangan bersama yang menggabungkan kekuatan kelas dan keadilan gender. Tidak hanya memperjuangkan buruh sebagai kelas yang tertindas dalam struktur ekonomi kapitalistik, tetapi juga sebagai manusia yang memiliki identitas dan kebutuhan majemuk—perempuan, ibu, pekerja informal, dan kelompok rentan lainnya.

KSPI meyakini bahwa keberhasilan perjuangan buruh tidak bisa dicapai tanpa memastikan bahwa perempuan buruh berdiri di garis depan. RUU ini harus menjadi wujud dari perjuangan kolektif yang inklusif, di mana semua suara dihargai dan setiap pengalaman menjadi dasar dalam membangun sistem ketenagakerjaan yang baru.

Melalui forum-forum lanjutan, dialog kebijakan, dan konsolidasi gerakan, draf RUU ini akan diperkuat agar mampu menjadi pijakan hukum yang kokoh bagi perlawanan terhadap sistem kerja eksploitatif.

Penyusunan RUU Ketenagakerjaan yang baru ini bukan hanya tentang pasal-pasal hukum, melainkan tentang harapan. Harapan akan masa depan dunia kerja yang bermartabat, demokratis, dan manusiawi. Harapan bahwa suara perempuan tak lagi dibungkam, dan bahwa hukum bukan alat untuk menindas, melainkan untuk melindungi dan memanusiakan.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *