Serikat Pekerja Desak Keadilan Iklim: KSBSI, KSPI, dan DTDA Gelar Konferensi Multi-Pemangku Kepentingan Bahas Pekerjaan Hijau dan Kebebasan Berserikat
Jakarta, 24–25 Juni 2025 — Untuk merespons perubahan iklim dan mendorong legislasi pekerjaan hijau yang adil, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dengan dukungan dari Danish Trade Union Development Agency (DTDA) asal Denmark, menyelenggarakan Konferensi Multi-Pemangku Kepentingan bertajuk “Respon Indonesia terhadap Perubahan Iklim dalam Perjanjian Paris dan Kontribusi Nasional Indonesia untuk Undang-Undang Pekerjaan Hijau.”
Konferensi dua hari yang digelar di BW Hotel & Convention, Kemayoran, Jakarta Pusat ini mempertemukan serikat pekerja, perwakilan pemerintah, dan organisasi internasional untuk menyatukan pandangan dalam mewujudkan transisi energi yang adil (just transition), menjamin kebebasan berserikat, serta memperkuat perlindungan hak-hak pekerja di tengah krisis iklim.
Hari Pertama: Pekerjaan Hijau adalah Isu Buruh
Konferensi dibuka oleh Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban, yang menegaskan bahwa perubahan iklim bukan sekadar isu lingkungan, tetapi menyangkut masa depan pekerjaan dan kehidupan kaum buruh. “Buruh harus menjadi bagian dari pengambilan keputusan dalam kebijakan transisi energi dan pekerjaan hijau,” tegasnya.
Dalam sesi panel yang dimoderatori oleh Nikasi Ginting (FPE-KSBSI), tiga narasumber utama tampil memberikan pandangan:
- Yuke (Bappenas) menyampaikan pentingnya keterlibatan buruh dalam perencanaan kebijakan iklim. Ia mengungkap bahwa hanya 2% buruh Indonesia yang mengetahui konsep pekerjaan hijau, menandakan perlunya edukasi yang lebih luas.
- Elly Rosita Silaban kembali menegaskan bahwa serikat pekerja harus menjadi agen perubahan, bukan korban perubahan.
- Kahar S. Cahyono (Wakil Presiden KSPI) menekankan pentingnya perlindungan sosial dalam proses transisi. “Kami mendorong hadirnya legislasi yang mengatur pekerjaan hijau secara adil dan berpihak kepada buruh,” katanya.
Sebanyak 30 peserta dari KSBSI dan KSPI—masing-masing 15 orang—aktif berdiskusi dan menyampaikan tantangan dari sektor mereka. Dialog ini memperkuat pemahaman bahwa krisis iklim tak bisa dipisahkan dari keadilan sosial.

Hari Kedua: Memperkuat Hak Serikat di Tengah Transisi Energi
Fokus konferensi pada hari kedua beralih ke isu kebebasan berserikat serta penguatan organisasi buruh dalam menghadapi perubahan struktural menuju ekonomi hijau.
Empat narasumber utama hadir dalam sesi ini:
- Sofyan Abd Latief (Ketua Umum FSP PARREF KSPI / Majelis Nasional KSPI) menekankan bahwa tanpa kebebasan berserikat, buruh tidak memiliki kekuatan tawar dalam menghadapi dampak transisi energi.
- Pipit Savitri (ILO Better Work Indonesia) menyoroti pentingnya dialog sosial dan komitmen tripartit untuk memperkuat kebebasan berserikat di tempat kerja.
- Carlos Rajagukguk (Ketua Umum NIKEUBA KSBSI) memaparkan strategi perekrutan anggota berbasis isu just transition.
- C. Heru Widianto, S.E., M.M. (Direktur Kelembagaan dan Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial, Kemnaker, sekaligus Ketua Umum DPN Asosiasi Mediator Hubungan Industrial) menegaskan komitmen negara dalam perlindungan hak berserikat dan pentingnya sistem mediasi yang responsif.
Peserta kembali menunjukkan antusiasme tinggi dengan aktif bertanya dan berdiskusi. Pada sesi penutupan, sejumlah rekomendasi kebijakan disampaikan kepada pemerintah, antara lain:
- Pelibatan aktif serikat pekerja dalam penyusunan kebijakan iklim dan transisi energi;
- Jaminan perlindungan sosial dan pelatihan ulang bagi pekerja terdampak;
- Legislasi khusus yang mengatur pekerjaan hijau secara adil dan berpihak pada pekerja;
- Penguatan literasi iklim dan kebijakan hijau di kalangan buruh.
Kesimpulan: Keadilan Iklim Harus Berakar pada Keadilan Sosial
Konferensi ini menjadi bukti bahwa buruh bukan hanya korban dari dampak perubahan iklim, tetapi juga pemangku kepentingan strategis dalam mewujudkan masa depan yang berkelanjutan. Kolaborasi antara KSBSI, KSPI, dan DTDA menunjukkan komitmen bersama untuk memastikan bahwa kebijakan transisi energi tidak meninggalkan siapa pun.
Serikat pekerja Indonesia menegaskan: transisi energi hanya bisa disebut adil apabila menjamin hak, pekerjaan, dan masa depan pekerja.