Opini

Omong Kosong Transisi Berkeadilan Tanpa Pencabutan UU Cipta Kerja

Oleh: Kahar S. Cahyono

Pengembangan draft Global Accelerator roadmap on Jobs and Social Protection for Just Transitions merupakan langkah penting yang diambil pemerintah untuk memastikan adanya transisi yang adil dalam lingkup pekerjaan dan perlindungan sosial. Dokumen ini tidak hanya berperan sebagai panduan untuk pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan penting, tapi juga sebagai sarana untuk mengidentifikasi langkah-langkah konkret dalam menghadapi perubahan yang cepat di dunia kerja.

Dari sana, ada optimisme yang timbul dari pengembangan roadmap ini. Setidaknya kita bisa melihat kejelasan dan arah strategis yang ditawarkan untuk mengatasi tantangan yang timbul akibat transisi.

Namun demikian, di balik itu, ada pesimisme yang juga muncul. Terutama ketika melihat stagnasi dalam revisi UU Cipta Kerja yang menyisakan banyak pasal merugikan bagi pekerja dan masyarakat kecil. Ini menunjukkan bahwa perjalanan menuju transisi adil masih panjang dan memerlukan komitmen politik yang kuat.

Buat saya, menarik ketika roadmap ini mengakui belum semua pekerja mendapatkan jaminan sosial. Terutama bagi mereka yang berada dalam sektor informal. Bahkan yang formal pun, seperti pekerja kontrak yang dengan adanya UU Cipta Kerja semakin rentan kehilangan pekerjaan, tidak mendapatkan jaminan sosial yang memadai.

Belum lagi ketika kita bicara tentang jaminan sosial yang ada saat ini, kualitasnya juga masih rendah. Contohnya jaminan pensiun yang manfaatnya tidak mencukupi kebutuhan di usia tua.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah perlunya penambahan jenis jaminan sosial baru yang dapat menjangkau lebih luas dan mendalam. Ini sejalan dengan standar minimal International Labour Organization (ILO), seperti jaminan persalinan.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menekankan pentingnya menerapkan jaminan sosial semesta sepanjang hayat, yang mencakup berbagai aspek kebutuhan dasar manusia, mulai dari lahir hingga meninggal dunia. Oleh karena itu, ada beberapa jaminan yang perlu ditambahkan, seperti jaminan perumahan, jaminan makanan, jaminan pendidikan, jaminan air bersih, hingga jaminan pengangguran.

Namun, ironisnya, keberadaan UU Cipta Kerja malah berpotensi melemahkan sistem perlindungan sosial yang ada, terutama terkait dengan regulasi pesangon yang rendah. Padahal bicara transisi, akan ada banyak pekerjaan yang hilang. Dan itu artinya PHK bagi pekerja.

Sudahlah kehilangan pekerjaan, pesangon yang didapatkan kecil sekali. Ironi yang menyakitkan.

Munculnya lapangan pekerjaan baru yang tidak diikuti dengan standar pelatihan yang memadai menjadi masalah lain. Bahkan seringkali menyebabkan praktik pemagangan yang eksploitatif, di mana pekerja tidak mendapatkan hak dan pengakuan yang seharusnya.

Pemagangan berkualitas hanya indah di atas kertas jika tidak diimbangi dengan pengawasan yang ketat. Agenda ini seharusnya juga masuk ke dalam roadmap.

Masalah penurunan tingkat kesejahteraan pekerja akibat UU Cipta Kerja juga penting untuk menjadi perhatian. Di mana saat ini, banyak perusahaan berlomba-lomba menurunkan tingkat kesejahteraan. Menurunkan kualitas Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Ini menunjukkan urgensi dalam meningkatkan kualitas dan standar hidup pekerja dalam menghadapi transisi.

Selain itu, yang harus diakui, peran serikat pekerja dalam proses transisi sangat krusial, namun seringkali dihadapkan pada industri yang tidak ramah terhadap keberadaan dan kegiatan serikat. Apa yang terjadi di industri nikel yang banyak diberitakan media hanya salah satu contoh.

Tidak hanya itu, saya rasa, transisi ke energi terbarukan tidak seharusnya membuka peluang liberalisasi yang lebih luas, terutama dalam sektor-sektor penting seperti listrik yang seharusnya tetap berada dalam kontrol negara. Jangan sampai mengarah pada privatisasi, terutama terkait dengan sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Pada akhirnya, saya ingin menegaskan, tak akan pernah ada transisi yang berkeadilan tanpa pencabutan UU Cipta Kerja. Bicara transisi yang berkeadilan seharusnya merujuk pada perubahan ekonomi dan sosial yang dilakukan dengan cara yang adil, mempertimbangkan kepentingan semua pihak, khususnya pekerja dan masyarakat kecil.

Berikut adalah beberapa alasan mengapa pencabutan UU Cipta Kerja penting dalam konteks transisi yang berkeadilan:

1. Perlindungan Pekerja: UU Cipta Kerja dinilai telah melemahkan perlindungan bagi pekerja, termasuk dalam hal keamanan kerja, hak-hak pekerja, dan kondisi kerja yang layak. Transisi yang berkeadilan memerlukan kerangka hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak pekerja.

2. Ketidakpastian Pekerjaan: UU ini mempermudah penggunaan kontrak kerja sementara dan outsourcing, yang dapat meningkatkan ketidakpastian pekerjaan dan mengurangi kestabilan penghidupan pekerja.

3. Keseimbangan Kekuatan: UU Cipta Kerja dianggap menggeser keseimbangan kekuatan lebih jauh ke pihak pengusaha, mengurangi kemampuan serikat pekerja untuk melakukan negosiasi dan advokasi yang efektif atas nama pekerja.

4. Keterlibatan Pekerja dalam Transisi: Transisi yang berkeadilan membutuhkan keterlibatan aktif dari pekerja dan serikat pekerja dalam proses pengambilan keputusan. Namun, UU Cipta Kerja dikritik karena kurangnya keterlibatan dan transparansi kepada para pemangku kepentingan.

5. Sustainability dan Keberlanjutan: Transisi yang berkeadilan juga memerlukan pertimbangan terhadap aspek lingkungan dan keberlanjutan. UU Cipta Kerja dinilai mengabaikan aspek ini dengan memudahkan izin lingkungan bagi perusahaan.

Dengan demikian, pencabutan UU Cipta Kerja dilihat sebagai langkah penting untuk memastikan bahwa transisi yang terjadi di Indonesia tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada keadilan sosial, perlindungan pekerja, dan keberlanjutan lingkungan.

Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *