Sejumlah Alasan Mengapa Tapera Harus Ditolak
Hak atas perumahan bukan sekadar mimpi yang tergantung di langit-langit harapan. Ia adalah hakikat manusia untuk hidup layak, di bawah atap yang melindungi dari deras hujan dan terik matahari. Di setiap jengkal tanah yang dipijak, tersimpan janji negara untuk menghadirkan keadilan, memberikan tempat yang pantas bagi setiap jiwa. Rumah adalah ruang untuk bercengkerama dengan keluarga, melukis kenangan dalam bingkai kebersamaan. Maka, hak atas perumahan harus diperjuangkan, demi martabat yang terjaga dan masa depan yang lebih cerah.
Kita sering kali dihadapkan pada sebuah pilihan yang sebenarnya bukan pilihan. Seperti angin yang membawa cerita dari masa lalu, Tapera hadir sebagai sebuah ironi bagi kaum buruh. Program ini, yang seharusnya menjadi jawaban atas impian memiliki rumah, justru menjerumuskan kelas pekerja ke dalam ketidakpastian yang tak berujung.
Mari kita telusuri mengapa Tapera seharusnya dicabut.
Bayangkan, setelah bekerja keras selama sepuluh hingga dua puluh tahun, potongan iuran sebesar tiga persen dari upah buruh tak cukup untuk membeli rumah. Bahkan untuk sekadar membayar uang muka, iuran yang terkumpul terasa hanya setetes air di padang pasir. Impian memiliki rumah menjadi seperti fatamorgana, terlihat dekat namun tak pernah terwujud.
Selain itu, tidak ada satu klausul pun dalam PP Tapera yang menjelaskan bahwa pemerintah turut serta dalam menyediakan rumah bagi buruh. Iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha, sementara pemerintah tampak berlepas tangan, tidak menyisihkan anggaran dari APBN dan APBD.
Rumah, sebagai salah satu kebutuhan pokok selain sandang dan pangan, seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk setiap warga negaranya. Tak sekadar tempat berteduh, rumah adalah pondasi bagi kehidupan yang layak, tempat di mana keluarga berkumpul dan masa depan direncanakan. Kewajiban pemerintah bukan hanya menyediakan tempat tinggal, tetapi juga memastikan akses yang adil dan terjangkau bagi semua. Sebuah rumah memberi rasa aman, stabilitas, dan kenyamanan, menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan. Dalam setiap batu bata yang disusun, ada harapan dan hak yang tak boleh diabaikan. Pemerintah harus berperan aktif, hadir nyata, memastikan setiap rakyatnya memiliki tempat untuk pulang.
Di tengah daya beli yang kian merosot tiga puluh persen dan upah minimum yang terkikis oleh UU Cipta Kerja, potongan iuran Tapera sebesar dua koma lima persen menambah beban hidup buruh. Potongan iuran ini, ditambah dengan berbagai potongan lain seperti Pajak Penghasilan, Jaminan Kesehatan, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Hari Tua, membuat total potongan hampir mendekati dua belas persen dari upah yang diterima. Ini belum termasuk hutang koperasi atau perusahaan, yang semakin membebani biaya hidup buruh.
Kerancuan dalam sistem anggaran Tapera juga membuka peluang besar untuk disalahgunakan. Di dunia ini hanya ada sistem jaminan sosial atau bantuan sosial. Jika jaminan sosial, dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah. Sedangkan bantuan sosial dananya berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah. Model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak mengiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah. Hal ini menimbulkan potensi besar terjadinya korupsi.
Karena pemerintah menyebut bahwa dana Tapera adalah tabungan, maka seharusnya bersifat sukarela, bukan memaksa. Dan karena Tapera adalah tabungan sosial, tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar peserta, seperti halnya tabungan sosial di program Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan. Subsidi antar peserta hanya diperbolehkan bila program tersebut adalah jaminan sosial yang bersifat asuransi sosial, bukan tabungan sosial. Misalnya program jaminan kesehatan yang bersifat asuransi sosial, maka diperbolehkan penggunaan dana subsidi silang antar peserta BPJS Kesehatan.
Untuk PNS, TNI, dan Polri, keberlanjutan dana Tapera mungkin berjangka panjang karena tidak ada PHK. Tetapi untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya PHK sangat tinggi. Oleh karena itu, dana Tapera bagi buruh yang ter-PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera.
Tapera, yang seharusnya menjadi jalan menuju rumah idaman, justru menjadi labirin ketidakpastian. Dengan segala kerancuan dan beban yang ditimbulkan, program ini lebih banyak menambah derita daripada harapan. Pemerintah harus hadir sebagai pelindung, bukan sebagai pengambil jarak. Hak untuk memiliki rumah adalah hak asasi, bukan mimpi yang harus diperjuangkan tanpa akhir. Inilah saatnya kita bersatu, berdiri teguh, menuntut keadilan. Demi masa depan yang lebih cerah, demi mimpi yang tak lagi tergantung di langit tanpa kepastian.